Tuesday, September 14, 2010

BALADA PAIMIN

Balada Paimin

Penulis: R. A. Dian

Sudah beberapa hari ini Paimin tampak murung. Belum ada yang tahu apa yang bercokol di benaknya, sebab mulutnya selalu dikatupkan; kecuali sekadar makan, minum, dan merokok. Padahal biasanya Paimin adalah sosok heboh dengan banyolan konyolnya.
Di desa Candirejo ini, Paimin memang terkenal sebagai seorang pengocok perut di mana ia bisa menyajikan cerita-cerita renyah yang mampu membuat tiap mulut terbuka lebar dalam bahak. Jika ditanyakan siapakah orang Candirejo yang namanya banyak disebut-sebut, pasti dengan spontan pula senyum mereka akan menjawab: "Paimin".
Kendatipun Paimin merupakan sosok yang disenangi dan dicintai warga, akan tetapi untuk urusan wanita, ia terhitung sebagai pribadi yang gagal mendapatkan simpati wanita. Barangkali giginya yang terlalu mrongos itu kendalanya, di samping tubuh yang gendut lagi pendek, dipadu dengan hidung pesek, rambut keriting serta mata lebar bak telur mata sapi. Terkesan jelek tetapi mengundang tawa geli. Dari segi usia, Paimin adalah perjaka dengan angka umur telah berkepala empat. Pantaslah jika disebut bujang lapuk.
Kali ini orang tuanya resah dan mengira Paimin kesambet.
"Ah, masak ada setan berani menggoda Paimin. Yang ada malah setannya takut sama Paimin!" seru Paijem, adik Paimin, dengan nada melecehkan. Padahal Paijem pun wajahnya tidak menyimpang amat dari abangnya. Wajanya yang dalam polesan bedak tebal itu menyeringai PD, membuat hati paimin kesal.
"Diam!!"
Bapak dan simbok Paimin yang telah sepuh itu juga Paijem tiba-tiba terdiam ketakutan. Tidak biasanya Paimin membentak penuh amarah begitu.
Suasana jadi bisu beberapa saat. Bapak, Simbok, dan Paijem hanya bisa saling pandang. Sejurus kemudian Simbok memberanikan diri angkat bicara. "Sebenarnya ada apa tho, Le? Sudah beberapa hari ini kerjamu cuma diem, Simbok jadi khawatir. Ngomonglah, siapa tahu Simbok bisa membantu, asal tidak diminta untuk melamar Surti, si putri juragan itu..."
Brakk!! Paimin menggebrak meja di depannya keras-keras. Bunyinya mengagetkan sekitarnya, sehingga beberapa binatang piaraan pada berlarian, dan beberapa ayam jadi saling kotek atau petog.
"Aku sedang memikirkan masalah besar, Mbok! Jangan ganggu aku! Aku lagi pusing. Den, yang perlu diingat, untuk saat ini aku sangat sensitif membicarakan wanita. Aku tidak suka Simbok nyebut-nyebut Surti lagi, karena cepat atau lambat, suatu saat nanti semua wanita akan tunduk di bawah kakiku, termasuk Surti, bunga desa kampung kita itu."
"Lantas kamu mikirin apa?"
"Aku butuh duit besar, Mbok. Sembilan juta rupiah, sementara aku buru punya tiga juta. Aku sadar, cuma Simbok yang bisa membantu aku. Tolong ya, Mbok, diusahakan. Aku mau beli tanaman hias yang sekarang lagi ngetren itu, Jenmanii."
"Apa? Cuman tanaman semahal itu?" sekonyong-konyong Bapak, Simbok, dan Paijem terbelalak kaget. Baru kali ini mereka mendengar ada tanaman memiliki nilai rupiah tinggi.
"Kalian harus percaya aku! Tanaman ini banyak digandrungi orang. Konon katanya dari Amerika. Jika setelah setahun tanaman itu kurawat dengan baik, harganya nanti bakal melonjak menjadi ratusan juta bahkan milyaran.."
"Lha dalah, milyaran?!?!"
"Jika itu terjadi, aku atau kita jadi orang kaya mendadak dan aku bisa operasi plastik, memperbaiki wajah sialanku ini. Gadis-gadis pasti banyak yang ngantri dan aku segera kawin! Ya, kawin!"
Kini orang tua Paimin mengira anaknya telah menjadi korban dari sindikat terselubung. Dalam hati mereka menyangkal, mana ada tanaman semahal itu. Kalaupun ada, pasti tanaman langka, memiliki nilai sejarah tinggi, atau tanaman dengan khasiat obat yang bener-bener mujarab.
Mereka merasa berat mengusahakan uang sebanyak itu. Namun, aroma penasaran sebenarnya sedang ikut bermain juga di benak mereka, seperti apakah wujud jenmanii itu.
Jenmanii, tanaman itulah yang kini sedang mempesonakan hati Paimin hingga berhasrat ingin segera memilikinya.
"Sembilan juta kan sudah lebih dari cukup buat kawin? Si Denok, saudara sepupu kamu itu sebenarnya sudah lama nungguin kamu."
"Berapa kali harus kukatakan, aku tidak mau kawin sama si Mrongos itu. Mana umurnya lebih tua dariku lagi. Apa jadinya keturunanku kelak. Aku cuma mau kawin sama orang cantik. Mbok, sebelum habis kesabaranku, tolong usahakan untuk anakmu ini dan tentunya buat Paijem juga. Ini demi masa depan kita bersama. Percayalah padaku, aku pasti berhasil.”
Dan tampaknya Paijem pun termasuk dalam daftar gadis tak laku. Angannya melambung tinggi. Terbayanglah sosok-sosok tampan tengah mengerumininya, menyalaminya, merayunya, dan saling berebut memberikan perhatian kepadanya. Namun, semua itu baru sebatas angan kosong. Atau mungkin benar-benar kosong belaka yang sengaja dihembus-hembuskan abangnya. Paijem diam kembali tanpa reaksi.
Memang kata-kata Paimin laksana hembusan sihir. Siapapun akan bisa hanyut dalam buaian usapannya yang mengalir deras, runtut, penuh penjiwaan dan enak didengar. Itulah kelebihan Paimin.
Akan tetapi amatlah disayangkan, karena sifat periangnya berangsur-angsur mulai luntur. Ke manakah Paimin yang dulu? Yang tiap tutur dan geraknya selalu menawan para tetangganya? Paimin, betapa ia dulu senantiasa mendapat acungan jempol lantaran keramahannya, kemampuannya mengendalikan emosi seakan-akan ia adalah makhluk riang tanpa beban.

Kini, karena sepohon jenmanii, ia nyaris lupa daratan. Cintanya setengah mati. Apapun akan dikorbankan demi bisa membelinya. Itulah tekadnya. Ternyata, sejak lama laki-laki itu memendam ambisi yang membeban di lubuk hatinya di mana ia sengaja menutupi siksaan jiwa itu dengan aneka banyolan. Semua orang terhibur. Namun tidak untuk hatinya sendiri. Riskan. Ironis.
Ia mampu menciptakan tawa dan tertawa dengan serta merta, namun ternyata hatinya acap menangis menyesali ihwal penciptaannnya. Ia merasa Tuhan tak adil dengan memberikan kompleksitas onderdil tubuh, yang menurutnya, serba jelek. Ia menyesal terlahir dari seorang wanita buruk rupa. Ia yakin, dengan uang berlimpah akan mendapatkan paras nan rupawan dan beristrikan gadis cinderella. Dalihnya, untuk memperbaiki keturunan.
Egois! Paimin tak pernah mau tahu kondisi orang tuanya lagi. Yang terpenting baginya saat ini yakni harus adanya petrubahan takdir, dengan jalan, merubah penampilan. Paimin terlalu mendramatisir masalahnya dan enggan memandang dunia dengan mata lebar. Picik. Ia lupa bahwa banyak orang-orang yang memiliki kekurangan fisik di mana keadaan mereka boleh dibilang, lebih parah dari sekedar yang dialami atau dimiliki Paimin.
"Oke, jalan keluar satu-satunya yakni kita jual salah satu dari sapi kita dan sekarang juga aku akan membawa sapi kita yang besar itu."
"Lho, jangan dijual dulu. Kasihan anaknya. Masih menyusui sudah dipisahkan dari induknya. Kekayaan kita itu cuma dua sapi itu..."
"Pedhet-nya kan sudah agak besar! Pokoknya masalah ngurusnya nanti jadi tanggung jawabku. Sudah, aku keluar dulu. Mau nawarin sapi itu kepada orang-orang." Tanpa menghiraukan lagi seruan orang tuanya, Paimin melangkah keluar.
"Tobat tenan nih anak! Dipikir dulu, Le!"
Tetapi Paimin telah keburu jauh. Kemauan Paimin terlalu keras. Tak ada yang mampu menggoyahkan tekadnya barang sedikit.
Rupanya sapi telah terjual seharga delapan juta. Seperti orang yang tak mau ketinggalan kereta, uang itu secepatnya dialokasikan untuk membayar jenmanii incarannya. Ia sudah ngebet segera memboyong jenmanii pujaannya.
Dan jenmanii pun akhirnya sampailah di rumah Paimin. Dari wujudnya, tanaman ini tidak terlalu istimewa di mata orang tua Paimin. Ya, seperti sayur sawi yang dalam ukuran lumayan besar. Kontan saja orang tua Paimin menangis kecewa. "Cuma sawi kaya gitu kamu tukar dengan sapi?"
"Hush, ini bukan sawi! Jangan sekali-kali memetik ataupun merobeknya, sebab harganya bisa turun drastis!"
"Ngimpi apa Simbok semalem. Kamu ini bener-bener bodoh! Tidak bisa membedakan mana kebutuhan utama dan mana-mana yang tidak perlu. Uang sebanyak itu kamu buang begitu saja cuma untuk membeli daun seperti itu. Bukankah lebih baik dibelikan tanaman lain yang leih bermanfaat, semisal apotik hidup atau palawija!"
Paimin tidak menggubris perkataan simboknya. Nasi telah menjadi bubur. Ia selalu saja sibuk meng-asyiki jenmanii itu. Ia menaruhnya di emper rumah. Ia lantas membersihkan pot tanaman itu. Sebentar-sebentar bibirnya melafalkan lirik-lirik melayu. Ia begitu menikmati keceriaan itu. Tidak peduli dengan Simbok, Bapak, dan adiknya yang bengong terselimuti rona kesedihan dan dengan linangan air mata.
Kemudian, sekonyong-konyong Paimin memerintahkan mereka bertiga dengan suara meninggi, layaknya seorang komandan perang membentak anak buahnya: "Cepat kalian semua pergi! Kasih tau ke orang-orang kalau aku punya jenmanii seharga 9 juta. Aku takut nanti dicolong orang, makanya warga harus tau bahwa tanaman ini milikku. Pergi sana! Cepat!"
"I-iya!" Spontan mereka menjawab seraya nyelonong pergi.
Dasar Paimin. Baru mendapatkan sedikit kesenangan saja sudah berani semena-mena sama orang tua. Apa ia lupa, dari manakah uangnya barusan. Ataukah juga tidak tersadar, telah durhaka terhadap orang tuanya sendiri?
Sudah sepuluh menit kepergian mereka mengabarkan pesan Paimin kepada warga. Tampaknya kedatangan warga utuk melihat janmanii Paimin mulai tercium. Suara sekelompok orang laksana dengungan lebah, sayup-sayup terdengar kian mendekat. Paimin tanggap dengan sorak sorai warga penuh antusias. "Sudah kuduga mereka bakal datang. Aku mendengar riuh rendah suara mereka. Mereka nanti pasti kagum dan terpesona dengan kemolekan jenamanii ku ini. Wah, aku ndak sabar, nih, pingin segera pamer..." Begitu susahnya memiliki tetangga yang jarak rumahnya berjauhan.

Mendadak Paimin tersentak kaget melihat wajahnya pada sebuah kaca. Ia sadar wajahnya sangat kusut, dua hari belum mandi. Maka sebelum tetamu datang, ia segera bertindak merapikan penampilannya. Lantas ia ke belakang untuk membasuh muka.
Begitu selesai, setengah berlari dan mengelap mukanya dengan bajunya, ia kembali lagi menuju emperan rumahnya untuk mencandai jenmaniinya ynag tumbuh angkuh itu.
Tetapi alangkah terkejutnya Paimin melihat janmaniinya hilang terkoyak. Tersisa hanya beberapa sobekan kecil daunnya yang masih tertancap pada potnya.
"Lho, ada apa ini? Siapa yang merusak jenmaniiku?" Masih dililit kebingungan bercampur pedih, Paimin sempat melihat biang kerok pelaku kerusakan.
Mata Paimin menyala. Melotot dalam amarah membara melihat anak sapi miliknya lagi keenakan menyantap menu baru yang seumur-umur baru kali ini ia merasakannya. Tampak oleh Paimin si anak sapi itu tengah mengunyah lumat-lumat janmaniinya. Di mulutnya masih ada sedikit sisa beberapa sobekan daun jenmanii. Pedhet itu seperti tengah meledek Paimin, membuatnya geregetan kepalang tanggung.
"Wooo... pedhet sialan! Kamu memakan jenmaniiku! Kubunuh kamu!" Tangan Paimin meraih batu besar. Dilemparkannya ke arah anak sapi itu. Lemparannya luput dari sasaran. Seiring dengan kedatangan warga, Paimin masih tetap mengejar pedhet itu laksana orang kesurupan. Karena panik, hal itu membuat Paimin kehilangan kontrol. Ia pun akhirnya jatuh tersungkur. Ia putus asa. Menangis, meraung-raung sekerasnya. Berguling-guling di tanah becek layaknya kanak-kanak kecil.
Warga mulai tahu apa yang terjadi. Rasa belas kasihan bahkan tidak tega menyaksikan itu. Seluruh warga jadi ikut menangis iba. Seolah ada parade atau lomba menangis.
"Istighfar, Min! Istighfar!" Tak henti-hentinya para warga berusaha menenangkan Paimin. Suasana tambah tegang karena seluruh anggota keluarga Paimin pada pingsan.
Tingkah polah Paimin semakin tidak terkendali. Tak ada yang mampu menanggulanginya, sampai akhirnya ia kelelahan sendiri. Terkulai lemas.
Di ujung sana, barangkali kesedihan si anak sapi belum lunas hanya dengan memakan jenmanii lantaran telah dipisahkan dari induknya. Namun kelihatannya, si anak sapi bisa sedikit mengulum senyum tanda kemenangan. Ah, ini cuma prediksi tentang dia, si anak sapi itu. Tapi yang pasti, hari ini Mangunjayan* akan tambah stau penghuni baru. Paimin.

No comments:

Yamaha Byson 2011

Yamaha Byson Sobat muda penunggang kuda besi tentu tidak asing dengan motor street fighter atau naked bike. Street fighter m...