Tuesday, September 14, 2010

Urgensi Insya Allah

URGENSI INSYA ALLAH

Penulis: Ust. Musyaffa Abdurrahim, LC.
Bidang Pembinaan Kader DPP-PKS

Jauh sebelum pemilu berlangsung, juga saat-saat menjelang hari H-nya, ada sebagian kader yang berbicara dengan nada optimisme yang sangat tinggi-- bahkan menurut kader lain bisa dikatakan over optimis. Sebenarnya, optimisme atau tafa'ul atau raja' merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang mukmin. Namun, perlu diingat bahwa sifat tafa'ul harus diimbangi dengan rasa 'adamul amni min makrillah (tidak merasa aman dari makar Allah SWT.) dan bahkan khauf (takut). Bahkan, salah satu ciri seorang mukmin yang yusari'una fil khairat wahum laha sabiqun -- bersegera dalam kebaikan dan menang dalam adu cepat meraih kebaikan itu-- hati mereka senantiasa takut dan ngeri jika kebaikan yang dilakukannya tidak diterima Allah SWT. (lihat Q.S. Al-Mukminun: 57-61) Allah SWT. berfirman:"Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan adzab Rabb mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Rabb mereka dengan sesuatu apapun. Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, karena mereka tahu bahwa sesungguhnya merekan akan kembali kepada Rabb mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." Mungkin ada yang berkata,”ooh itu hanya oknum saja”. Akan tetapi perlu diingat bahwa kita adalah satu organisasi, satu lembaga, dan satu tubuh. Bukankah kisah tercerai berainya pasukan islam pada awal gebrakan ghazwatu hunain (perang Hunain) pada tahun 8 H itu disebabkan oleh ucapan sebagian pasukan (baca: oknum)? Menurut berbagai riwayat, yang mengucapkannya adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Oknum itulah yang mengatakan, “karena jumlah kita banyak, kita tidak akan terkalahkan!”
Ucapan oknum itulah yang diabadikan oleh Al Qur’an, surat At Taubah ayat 25. Allah SWT. Befirman: “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu hai para mukminin di medan peperangan yang banyak, dan ingatlah peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kee belakang dengan bercerai-berai. ”
Mungkinkah karena terlalu percaya diri, maka sebagian kader jarang sekali mengucapkan ‘Insya Allah’ kala mengungkapkan optimismenya. Padahal ucapan ‘Insya Allah’ sangat urgen bagi seorang mukmin, bahkan bisa dikatakan dharuri. Artinya kita akan hancur kalau tidak mengatakannya. Seharusnya ucapan itu kita jadikan sebagai karakter, budaya, dan gaya berbicara yang membedakan kita dengan yang lainnya.
Berikut ini beberapa kisah yang menggambarkan betapa urgennya ucapan ‘Insya Allah’ bagi seorang mukmin;

Kisah Pertama

Dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim, dikisahkan bahwa suatu hari, Nabi Sulaiman a.s berkata, “malam ini aku akan menyetubuhi 60 atau 70 istriku sehingga mereka hamil. Lalu, setiap istriku melahirkan seorang anak lelaki yang akan menjadi mujahid penunggang kuda fisabilillah.” Namun, Nabi Sulaiman a.s lupa mengucapkan insya Allah.
Malam itu Nabi Sulaiman a.s. berhasil menyetubuhi 60 atau 70 istrinya, tetapi yang hamil hanya satu dari mereka. Dan saat melahirkanpun, anak yang dilahirkannya tidak sempurna fisiknya, ia hanya berupa badan saja. Dalam riwayat lain, ia hanya sebelah manusia saja.
Rasulullah SAW bersabda, “Kalau saja Nabi Sulaiman a.s mengucapkan insya Allah, niscaya merekan akan berjihad di jalan Allah sebagai penunggang kuda semuanya”(H.R. Bukhari-Muslim )
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan:
“…semua wanita itu akan hamil dan melahirkan putra yang berjihad di jalan Allah.” (H.R. Muslim)

Kisah Kedua

Di puncak pertarungan pemikiran antara Rasulullah SAW dengan kafir Quraisy, orang-orang Quraisy mengirimkan dua orang cendekiawannya sebagai utusan khusus kepada orang-orang Yahudi di Mandinah. Tujuannya, agar mereka mendapatkan dukukngan ilmu baru dalam menghadapi Rasulullah SAW. Mereka yang dikirim yakni An-Nadhar bin Al-Harits dan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. Orang-orang Yahudi membekali dua orang cendekiawan itu dengan tiga pertanyaan yang harus mereka ajukan kepada Rasulullah SAW, pertanyaanya adalah:

1. Bagaimana kisah Ashhabul kahfi?
2. Bagimana kisah Dzul Qarnain?
3. Apa yang dimaksud dengan ruh?

Mendapatkan tiga pertanyaan tersebut, Rasulullah bersabda, “Besok akan saya ceritakan dan saya jawab.” Akan tetapi Beliau lupa mengucapkan Insya Allah. Akibatnya, wahyu yang biasanya turun kepada Beliau setiap kali menghadapi masalah, terhenti selama lima belas hari. Sedangkan orang-orang Quraisy setiap hari selalu dating menagih janji Rasulullah SAW. “Mana ceritanya? Besok…besok…besok…,” begitu kira-kira ucapan orang-orang Quraisy. Rasulullah sangat bersedih atas kejadian itu. Barulah setelah lima belas hari, Allah SWT menurunkan Surat Al Kahfi yang berisi jawaban atas dua pertanyaan yang diajukan, sedangkan pertanyaan ketiga disebutkan allah SWT dalam Q.S. Al Isra’:85.
Pada penghujung akhir kisah Ashhabul Kahfi, Allah SWT berfirman:
“Janganlah kamu sekali-kali mengatakan, ‘Sesungguhnya saya akan melakukan hal ini besok,’ kecuali dengan mengatakan Insya Allah.” Q.S. Al Kahfi: 23-24.
Mungkin ada orang yang berkata, “Bukankah Nabi Muhammad Saw telah diampini dosanya baik yang telah lalu maupun yang akan dating? Lalu, mengapa kesalahan kecil dan sepele ini mendapatkan hukuman sedemikian rupa? Bukankah kebaikan Beliau selama ini bisa menutupi kesalahan kecil dan sepele ini?”.Jawabannya adalah:

1. Agar hal ini menjadi durus wa ‘ibar (pelajaran dan ibrah) bagi umatnya. Kalau orang selevel Rasulullah SAW saj dihukum sedemikian rupa, bagaimana dengan kita yang penuh dosa?
2. Ada ungkapan yang mengatakan, “Hasanatul abrar, sayyiatul muqarrabiin.” Artinya, ada hal-hal tertentu bagi orang-orang abrar(orang baik-baik) disebut sebagi hasanat (kebaikan), namun bagi orang-orang yang berkelas muqarrab (yang dekat dengan Allah dan menjadi kekasih-Nya) akan dinilai sebagai sayyiat (keburukan).

Kisah ketiga

Pada suatau hari, ketika nabi Musa a.s. sedang mengajar kaumnya timbul sebuah pertanyaan, “Siapakah yang paling alim diantara kalian?” nabi Musa a.s. menjawab, “saya” atas jawaban tersebut, Allah SWT menegurnya dan memberitahukan kepadanya bahwa ada seorang hamba Allah SWT yang lebih alim.
Singkat cerita , Nabi Musa a.s. ingin berguru kepada hamba Allah SWT yang lebih alim itu. Hamba Allah SWT yang lebih alim itu menerima lamaran Nabi Musa a.s dengan syarat: Nabi Musa a.s. tidak boleh bertanya, berkomentar, apalagi mengingkari apa yang akan dilihatnya sebelum hal itu dijelaskan kepadanya. Nabi Musa a.s. menerima persyaratan tersebut.
Hamba Allah itu, tidak lain adalah Nabi Khidhir a.s., berkata, “Akan tetapi kamu tidak akan mampu bersabar.”
Spontan Nabi Musa a.s. menjawab, “Insya Allah kamu akan mendapatiku sebagi orang yang bersabar.”
Dalam jawaban ini, Nabi Musa a.s mengucapkan “Insya Allah”
Akan tetapi jawaban itu menunjukkan Nabi Musa a.s. kurang tawadhu’. Mengapa? Sebab, ia mengatakan, “…saya sebagai orang yang sabar.”
Beliau tidak mengatakan, “…saya sebagi bagian dari orang-orang yang bersabar.” Artinya, jawaban Nabi Musa a.s. dapat dikonotasikan seakan-akan di dunia ini tidak ada yang sabar selain dirinya.
Karena sedikit kurang tawadhu’ terbuktilah bahwa Nabi Musa a.s. tidak bisa sabar dalam berguru kepada nabi Khidhir a.s. Mengapa? Sebab, setiap Nabi Khidhir a.s. melakukan sesuatu, Nabi Musa a.s. selalu berkomentar, bahkan mengingkarinya. (kisah selengkapnya baca di Q.S. Surat Al Kahfi:60-82)
Rasulullah SAW bersabda, “Kita sangat senang kalau saja Nabi Musa a.s. bersabar, niscaya akan banyak kisah yang bisa kita dapatkan darinya.” (H.R> Bukhari- Muslim)
Jawaban Nabiyullah Musa a.s. berbeda dengan jawaban Nabiyullah Ismail a.s ketika ayahandanya (Nabi Ibrahim a.s.) berkata kepadanya, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
Ia menjawab, “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintah kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S Ash Shaffat:102)
Jawaban Nabi Ismail a.s. ini mangandung makna bahwa, di dunia ini banyak sekali orang yang bersabar dan ia insya Allah termasuk salah satu dari mereka. Kemudian terbuktilah bahwa nabi Ismail a.s. mampu bersabar.
Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagi hamba-hamba yang selalu mengmbalikan sesuatu kepada masyi’ah Allah SWT. Dan menjadi manusia-manusia yang tawadhu’ dan sabar. Amiin!

No comments:

Yamaha Byson 2011

Yamaha Byson Sobat muda penunggang kuda besi tentu tidak asing dengan motor street fighter atau naked bike. Street fighter m...