Tuesday, September 14, 2010

Warung Kelambu

Warung Kelambu

Penulis: Sam Edy

Malam merambat larut. Gelap kian mempekat. Rembulan dan gemintang yang rela setulus ikhlas tanpa pamrih menaburkan temaram nur-nya ke atas bumi seisinya hingga mampu mengkilapkan dedaunan pohon-pohon melinjo yang tumbuh merimbun di kanan kiri pekarangan rumahku semenjak maghrib tadi, mendadak muram tersaput kelabunya awan. Tebakku, mungkin sebentar lagi hujan kan bertandang ke bumi. Mendinginkan gerahnya tanah-tanah kering bercampur pasir di desaku, setelah seharian terpanggang oleh garangnya sang mentari. Desa kelahiranku adalah desa terpencil–orang-orang bilang daerah tempatku tinggal adalah daerah abangan–yang berada di dekat pesisir pantai selatan.
Di balik jendela kamar yang setengahnya sengaja kubiarkan terbuka, aku masih duduk merenung bersama malam yang kian hening. Desau angin yang menghantarkan suara gemuruh air laut kontan menggelitik rasa dingin di pori-pori kulit wajah dan tubuhku. Entahlah, hingga selarut ini, aku masih belum bisa mengatup mata. Padahal, jarum jam weaker di meja kamarku telah menunjuk ke angka dua belas lebih sepuluh menit dini hari. Rupanya, perdebatanku dengan ibu sore tadi yang membuatku sulit untuk menyatukan kelopak mata yang sudah masanya diistirahatkan.
“Trus, kalo Ibu nggak jualan, Ibu mau kerja apa, Nduk?” begitu cecar Ibu saat kukatakan kepadanya agar selama bulan ramadhan–yang kurang dua hari lagi–tak usah buka warung makan, seperti hari-hari biasanya.
Aku terdiam. Berpikir sebentar, dan segera terlontar ide…
“Gimana kalo warungnya buka pas menjelang maghrib aja sampe malam?” usulku dengan raut mengharap ibu langsung meng-iyakan solusi yang kutawarkan.
“Sopo sing arep podo marung bengi-bengi, Nduk, Nduk?”
Aku nyengir getir lantas menggigit bibir, sembari mengamini kata-kata Ibu, tapi hanya dalam batin. Benar sekali. Siapa pula yang mau marung? Bukankah selama ini, kebanyakan penduduk di sini jarang yang mau melaksanakan ibadah puasa? Seperti tahun yang sudah-sudah? Mereka; bapak-bapak, ibu-ibu, dan juga para pemuda putus sekolah rata-rata menghabiskan waktu seharian untuk memeras keringat di ladang, menebang tebu, memanen buah semangka yang siap petik, memupuk tanaman cabe keriting dan tomat. Sebagian yang lain menjaring dan memancing ikan di laut untuk kemudian dijualnya di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dekat rumahku. Hanya satu dua saja yang kutahu masih mau menjalankan puasa.
Tak sadarkah mereka, jika Allah menitahkan para manusia berpuasa adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. Bukan hanya sebatas perintah tanpa makna. Ternyata ada banyak sekali manfaat sekaligus hikmah dalam bulan suci penuh berkah itu. Karena dengan berpuasa, selain menyucikan ruhani, juga akan membersihkan jasmani kita. Puasa bisa dijadikan sebagai alat penyembuh – dari segala jenis penyakit – yang baik. Semua organ tubuh manusia yang nyaris tak istirahat selama 24 jam, tapi setelah berpuasa, bisa mengistirahatkan alat pencernaan lebih kurang 12 jam saban harinya. Jadi dengan berpuasa, organ-organ tubuh manusia bisa bekerja lebih teratur dan efektif. Itu di antara pelajaran yang pernah kuterima di bangku Aliyah. Ah! Tapi, bagaimana cara menjelaskannya pada orang-orang di desaku yang rata-rata tak mengenal bangku sekolah itu?
Sementara itu, jika matahari mulai menyembul dan merangkak dari ufuk timur dengan terangnya yang kian benderang hingga menyilaukan kedua bola mata, sebelum meladang dan melaut, siang saat jam istirahat, dan sore sebelum pulang ke rumah masing-masing, mereka punya kebiasaan nongkrong dulu di warung yang banyak berdiri di pinggiran jalan menuju laut, melinting kemenyan dan tembakau sembari medang kopi, menunggu sarapan pagi sembari menjambal beberapa gorengan yang masih mengepul panas.
“Wis ta, Nduk. Ra usah werno-werno. Pokoknya Ibu akan tetap buka warung, yang penting ibu, kamu dan bapakmu itu tetap puasa, iya kan?” kata Ibu.
“Bu, kalo kita puasa tapi tetap buka warung, itu sama saja dengan memberi peluang orang-orang untuk tak berpuasa,” kuatur sepelan mungkin suaraku, takut menyinggung perasaan Ibu.
Lha, tapi ibu kok malah tersenyum.
“Nduk, Nduk. Kamu itu baru satu tahun hidup di kota saja sudah lupa dengan kebiasaan desa kelahiranmu sendiri.”


O, Ibu… Bukan. Sama sekali bukan aku lupa dengan kebiasan buruk warga desaku. Aku memang sangat bersyukur, di saat teman-teman sebayaku terpaksa putus sekolah karena rata-rata faktor ekonomi, ternyata Ibu yang semenjak aku masih SD sudah buka warung makan sementara bapakku kerja di toko bangunan di kota, masih mampu untuk membiayiku sekolah hingga bangku madrasah aliyah yang terletak di pusat kota. Dan, aku pun terpaksa meninggalkan Ibu sendirian di desa, sementara aku sekolah dan indekos di sana. Setengah bulan sekali saat hari libur, aku sempatkan balik ke desa.
“Apa kamu sudah lupa, Nduk. Kebiasaan warga desa kita ini. Hanya beberapa keluarga saja yang mau berpuasa,” lanjut Ibu.
Memang betul apa yang dikatakan Ibu barusan. Oleh karena itulah, aku tengah berusaha mencari celah supaya Ibu memikirkan lagi dengan keputusannya untuk tetap membuka warung makan di bulan Ramadhan yang tinggal menghitung jam ini. Ya, rupanya bukan hal mudah memang untuk mengubah tradisi jahiliyah yang telah mengakar-kuat di desa tempat kelahiranku ini. Dan, bukan zamannya lagi bagi kita untuk terus-terusan menyalahkan mereka. Karena aku pikir, mereka tak menjalankan kewajiban berpuasa itu rata-rata karena minimnya pengetahuan agama mereka. Dan, ini menjadi tugas terberatku saat ini. Menyadarkan warga kampungku. Dan aku ingin memulainya dari lingkup keluargaku sendiri. Tapi, untuk merubahnya ternyata tak semudah mengucapkannya lewat kata-kata.
“Tapi, Bu, paling tidak dengan tutup warung selama bulan ramadhan kan jadi bisa mengurangi mereka untuk nongkrong di warung,” kucoba mempertahankan pendapatku.
“Alaah, jare sopo, Nduk. Kamu tengok besok warungnya Lik Paijah, Kang Darmun, dan Mbah Dasiyah, tetap buka, kok. Malah kita yang bakalan merugi kalo tutup warung.” Raut wajah Ibu tak sedikit pun berganti warna. Tetap bersikukuh tak mau mengubah keputusannya.
Dan sore menjelang maghrib itu, bibirku mengatup, tak menemukan lagi kalimat yang pas buat melenturkan pendapat alot Ibu.
Ya, Rabb. Lantas aku harus gimana? Haruskah aku terus-terusan ingkar bi qolbi menyaksikan kemungkaran yang terpampang di hadapanku? Berilah aku petunjuk-Mu. Kucoba lagi mengatupkan kedua kelopak mataku yang terasa agak perih. Tapi, tetap sama. Aku tak merasakan kantuk sama sekali. Sementara air langit rupanya telah menjelma rintikan gerimis yang meluncur ke bumi, menimbulkan suara bergemeretak di atap seng rumahku.
***
“Pokoknya Bapak harus cari cara gimana nyegah Ibu agar bulan puasa ini nggak buka warung,” mohonku kepada Bapak di ujung handphone pagi itu saat ibu tengah memberesi warungnya yang berdiri di halaman rumah.
“Memangnya kenapa kalo ibumu tetap buka warung, Nduk,” nada Bapak mengalun santai di ujung sana.
“Waduh, Bapak ini gimana, to. Kalo Ibu tetap buka warung, itu sama artinya ngajak tetangga kita ninggalin puasa, Pak, kita jadi ikut nanggung dosanya.”
“Lho, dasarnya mereka sendiri yang nggak pada mau puasa kok, Nduk. Ya mereka to yang nanggung dosanya sendiri. Eh, Nduk, kamu ini kenapa sih, nggak seperti biasanya, terlalu berlebihan gitu. Sudahlah, jangan ambil pusing, toh yang penting kita nanti tetap menjalankan puasa, tak melanggar perintah Pangeran, iya to?” sahut Bapak masih dengan tekanan suara dan volume sama seperti tadi.
“Dulu memang Nurul nggak begitu peduli karena memang waktu itu pengetahuan agama Nurul masih minim, Pak. Beruntung sekarang Nurul bisa melanjutkan sekolah hingga aliyah. Nurul sekarang baru mengerti kalo buka warung makan di bulan puasa itu dilarang dalam Islam, Pak, meskipun yang punya warung tetap berpuasa,” terangku dengan intonasi yang aku yakin bisa meyakinkan Bapak.


“Lha, coba kamu ngomong sendiri saja sama Ibu sana,” kata Bapak.
“Sudah, tapi ibu tetep ngeyel.”
Hening. Tak ada jawaban dari ujung telepon.
“Pak, pokoknya nanti sore atau besok Bapak pulang dululah, tolong bujuk Ibu ya, Pak,” mohonku lagi sepenuh harap.
“Ya, ntar Bapak usahakan. Eh, udah dulu Nduk, ini Bapak lagi kerja, nggak enak sama si bos ngelihatin terus tuh, assalamualaikuum…,” Bapak menyudahi pembicaraan sepihak, sementara aku belum selesai ngomong. Aku mendesah galau. Ya, Rabb, semoga bapak bisa pulang secepatnya dan berhasil membujuk Ibu, amin, doaku mengalir berharap lekas mendapat ijabah-Nya.
***
Ramadhan telah tiba. Bapak belum pulang. Alasannya, si bos tak mengijinkan sebab sedang banyak lemburan kerja. Sialnya, aku masih belum menemukan cara jitu untuk membujuk ibu agar tak buka warung. Aku bertekad, sebelum balik ke tempat kos-- kebetulan pas puasa, sekolah diliburkan selama seminggu--aku harus bisa menggagalkan rencana ibu.
Tapi, aku bingung, belum menemukan cara tepat untuk membelokkan rencana beliau. Terlebih, karakter Ibu yang keras, tak gampang mendengar saran dari orang lain, walaupun itu keluarganya sendiri.
“Nduk, kok malah jagongan, to? Ayo cepetan, bantuin ibu masang kelambu di pintu warung,” Ibu mengagetkanku yang tengah melamun mencari ide menggagalkan rencana Ibu di emperan rumah pagi itu.
Khusus bulan ramadhan, memang warung-warung makan yang banyak tersebar di pinggiran jalan menuju laut di desaku, nyaris semuanya dipasang kelambu di tiap-tiap pintu warung yang pada hari-hari biasa terbuka lebar. Katanya, untuk menghormati orang yang tengah berpuasa. Hmm, pemahaman yang keliru. Mestinya kalau kepingin menghormati bulan Ramadhan, ya dengan turut menjalankan kewajiban berpuasa itu, bukan dengan menutup pintu-pintu warung mereka dengan kelambu.
“Bu, Ibu serius mau tetep buka warung,” kataku pelan.
“Kamu ini kenapa to, Nduk? Dari kemarin ngelarang-ngelarang Ibu buka warung terus,” kali ini kulihat raut Ibu agak kesal dengan ucapanku.
“Bu, kata guru agama Nurul, haram hukumnya buka warung makan pada siangnya bulan puasa, meskipun yang punya warung itu tengah berpuasa.” Sayangnya, kalimat yang telah kupersiapkan itu hanya tersangkut di kerongkongan saja. Tak ada keberanian mengucapkannya. Beda dengan Bapak, aku lebih terbuka dengan beliau, sejak kecil, dalam urusan apapun. Sayangnya, Bapak selama ini sering pasrah dan mengalah dengan segala ucap-keputusan Ibu.
***
Gedubrag!
“Nduuuk!” pekik Ibu saat kuterjatuh–bukan terjatuh, tapi memang sengaja menjatuhkan diriku sendiri–dari atas bangku saat sedang memasang kelambu di pintu warung makan.
“Nduuk! Bangun, Nduk, Nduk!” Baru kali ini kudengar Ibu begitu panik melihatku tergeletak lunglai di tanah bercampur pasir. Dan pasti beliau mengiraku pingsan. Ah, Ibu, maafkan aku, hanya cara seperti ini yang kutemukan di kepalaku untuk menggagalkanmu membuka warung di hari pertama bulan puasa. Ya, Rabb, ampuni aku andai cara yang kutempuh ini salah dan tak Kau ridhoi.
Aku tetap bergeming saat tubuhku diguncang-guncang sementara kedua lobang hidungku dilumuri minyak kampak. Nyaris saja aku bersin dan terbatuk tak kuat menahan baunya yang teramat menyengat, tapi aku mencoba bertahan. Lalu, terdengar teriakan Ibu minta tolong pada tetangga setelah usahanya menyadarkanku tak membuahkan hasil. Sementara aku tengah memutar otak mencari akting terbaikku selanjutnya.
Kebumen, Jelang Ramadhan 1431 H.
Keterangan:
“Sopo sing arep podo marung bengi-bengi, Nduk, Nduk,” : Siapa yang mau ke warung malam-malam, Nduk, Nduk.
Ingkar bi qolbi : Ingkar/menentang di dalam hati
“Wis ta, Nduk. Ra usah werno-werno.” : Sudahlah, Nduk. Nggak usah macam-macam.
“Alaah, jare sopo, Nduk,” : Alaah, kata siapa, Nduk.
Jagongan : duduk-duduk santai.

No comments:

Yamaha Byson 2011

Yamaha Byson Sobat muda penunggang kuda besi tentu tidak asing dengan motor street fighter atau naked bike. Street fighter m...