Tuesday, September 14, 2010

IBUKU SAHABATKU

Ibuku Sahabatku

Penulis: Setiawan Chogah

Sahabat. Hanya tiga suku kata. Tidak lebih. Tapi, bagiku sahabat adalah segalanya. Tidak berlebihan bila aku menyebut sahabat ibarat kebutuhan pokok yang harus terpenuhi dalam kehidupannku. Kau tentu akan mengira aku lebay. Atau alay sekali pun. Namun, itulah kenyataannya. Hidupku tak berarti apa-apa tanpa kehadiran para sahabat. Walau, tak jarang aku harus tersakiti oleh sebuah persahabatan yang berujung penghianatan. Tapi satu keyakinan yang tak bisa aku pungkiri. Sahabat sejati itu pasti ada.
Hampir separuh kehidupanku diisi oleh sahabat. Ya, saat aku lemah. Sekarat! Mati Rasa! Seorang sahabat mampu membuat aku hidup kembali. Saat aku terlena karena aku bisa, sahabat yang datang menamparku hingga aku kembali terbangun. Aku harus jujur bercerita kepada kalian. Ada rahasia besar dalam hidupku yang sebenarnya tidak patut untuk kalian ketahui. Tapi, aku sudah tidak peduli. Persetan semuanya. Hatiku sudah terlalu sakit menahan impitan gejolak kekecewaan. Jiwaku sudah terlalu kerontang tanpa perhatian dan siraman kasih sayang. Ayah yang bijaksana? Ibu yang berhati permata? Ah, rasanya aku tidak pernah mengenal itu. Yang ada hanya Ayah yang sampai sekarang aku tidak mengetahui masih hidup atau bukan.
Ayah, di mana dirimu? Masih adakah kau berpikir tentang aku? Anakmu, yang di dalam tubuhku mengalir darahmu. Aku masih ingat, Yah. Dulu, dulu sekali. Waktu aku masih terlalu bodoh untuk mengurai rumus-rumus kehidupan ini.
Saat itu matahari pagi masih hangat kurasakan. Aku bahagia, bila aku berhasil mencuri seteguk kopi yang khusus dibuatkan Ibu untukmu. Lalu kau memarahiku. Tapi aku tahu, kau tidak pernah marah padaku, Yah. Aku tahu kau begitu menyayangiku.
“Bagaimana tadi di sekolah?” tanyamu suatu hari padaku.
Lalu dengan bersemangat aku bercerita tanpa bisa kauhentikan.
Aku ceritakan kalau tadi Bu Guru memberiku buku tulis bergambar Micky Mouse karena ujian membacaku dapat nilai sepuluh. Kata Bu Guru aku anak yang pintar. Dia juga bilang Ayah dan Ibu beruntung punya anak seperti aku. Lalu kau tersenyum, mengusap kepalaku yang kecil. Kemudian kau berkata, “Kamu harus lebih rajin belajarnya ya, biar nanti bisa jadi Insinyur.”
“Insinyur itu apa, Yah?” aku bertanya. Kau katakan insinyur itu adalah orang hebat, pintar, dan kaya raya. Dia bisa membuat mobil, pesawat, dan rumah bertingkat.
“Wah, kalu begitu Det ingin jadi insiyur saja, Yah, biar nanti kita tidak jalan kaki lagi ke rumah Nenek. Kan nanti Det sudah punya mobil.”
Lalu kau kembali mengusap kepalaku sambil tersenyum.
Ah, apakah kau tahu, Yah, senyum itu sudah lama tidak aku lihat. Aku begitu merindukan usapan tangan kokohmu. Aroma lumpur dan keringatmu. Kopi buatan Ibu kesukaanmu. Sekarang itu sudah tidak ada.
April 2004
Yah, aku sudah tamat SMP. Tadi kepala sekolah menyebut namaku di depan banyak orang tua. Katanya aku lulusan terbaik tahun ini. Oya, aku juga dibolehkan membawa pulang piala ini. Katanya ini punyaku sebagai juara. Pialanya bagus ya, Yah, warnanya seperti emas. Berarti pialaku sudah dua ya, Yah. Ayah…kenapa kau diam saja? Ah, kau tak kan pernah mengusap kepalaku lagi, Yah, kau tak kan pernah lagi tersenyum untukku. Piala ini ingin kubuang saja. Aku hanya ingin kau membelikanku seragam SMA. Sama waktu aku lulus SD dulu. Tapi waktu itu katamu kita belum ada uang.
“Det, Ayah belum gajian. Kayu bakar kita juga belum ada yang mau membeli. Kamu pakai saja dulu baju Etek Len ya. Nanti kalau Ayah sudah gajian, Ayah belikan seragam baru.”
Kau selalu bisa membuat aku luluh, Yah. Aku selau menunggu janjimu. Tapi sampai hari ini, aku masih belum menerima seragam baru seperti yang kau janjikan waktu itu. Aku tidak percaya lagi denganmu, Yah.
Juni 2005
Aku baru saja pulang dari Payakumbuh. Sekarang aku sudah SMA, Yah. Coba Ayah lihat seragam baru yang dibelikan Etek Rus ini. Mmm… wangi barunya masih ada, Yah. Tapi lagi-lagi kau tak mau berbicara denganku. Kau hanya diam. Tak mau lagi tersenyum. Tak mau lagi mengusap kepalaku.
Lalu aku bertanya pada Ibu. Awalnya Ibu juga sama sepertimu, Yah, dia tidak mau bicara denganku. Lalu aku menangis seperti waktu dulu Ibu tidak mau membelikanku es tong tong yang 200 rupiah itu. Akhirnya Ibu mau juga menjelaskan kepadaku.
“Kami sudah bercerai.”
Aku terkejut, Yah. Aku tidak percaya kalau kau tak kan pernah membelikanku seragam baru. Aku tak percaya kalau Ibu tak kan pernah lagi membuatkan kopi spesial untukmu. Ah, kau jahat padaku, Yah!
Lalu kau berkata padaku.
“Ayah sayang padamu, Det. Tapi ibumu sudah tidak sayang Ayah lagi.”
“Tidak mungkin! Ibu sangat sayang pada Ayah,” jawabku.
Kau hanya menggeleng. “Keadaannya sudah berubah, Nak! Lihatlah, ibumu tidak pernah lagi membuatkan Ayah secangkir kopi.”
“Benarkah?”
Kau tidak menjawab. Kau hanya diam dan pergi.
Lalu aku menangis. Tapi kata Ridho, aku tidak boleh menangis. Itulah Ridho, yah, sahabatku sekarang. sahabat yang selalu menguatkanku ketika aku ingin jatuh. Ridho selalu mengatakan kalau aku pasti bisa jadi insinyur. Ah, dia baik sekali, Yah. Nanti, bila Ayah datang melihatku, aku ingin memperkenalkan Ridho padamu.
***
Ketika aku tanya pada Ibu, dia bilang kau tidak bisa membuatnya bahagia, kau tidak bisa membuatku jadi Insinyur. Makanya dia memintamu menceraikannya. Benarkah Ayah tidak bisa membuatku bahagia bu? Aku bertanya.
“Ya”
Kenapa?
“Ayahmu hanya seorang kuli bangunan, jangankan untuk sekolahmu. Untuk makan saja kita masih sering berutang pada tetangga.”
“Tapi kita bahagia kan, Bu?
“Tapi Ibu tidak."
Ah… Ternyata yang jahat itu Ibu, Yah. Ibu benar sudah tidak sayang lagi dengan kita. Yah, aku benci Ibu. Aku tidak mau lagi tinggal di sini. Aku mau mati saja.
Ayah?? Yah...??
Kau tak pernah lagi menjawab. Hingga kini. Kau tetap bisu. Dan lihatlah, Yah! Aku semakin kurus, aku kurus bukan karena kelaparan. Aku kurus karena memikirkanmu. Bertanya pada rembulan kenapa kau tak pernah lagi datang membelai kepalaku. Tapi rembualan sama jahatnya dengan Ibu, dia tak pernah mau menghiburku. Lihat pulalah, Yah, Ibu sekarang sudah punya suami baru. Aku sangat benci suaminya itu. Kata Ibu aku harus memanggilnya “Ayah”. Tapi aku tidak mau, Yah. Aku tidak akan pernah sudi.
Aku tidak mau berayah seekor monyet. Ya, suami baru Ibu itu sama seperti monyet kulihat. Atau bahkan seperti anjing barangkali. Ibu juga sudah memiliki anak dari monyet itu. Anak itu memanggilku Abang. Tapi aku tidak akan pernah menyahutinya. Pernah aku ingin mencubitnya. Tapi Ibu memarahiku. Ibu benar-benar memarahiku. Tidak sama waktu kau marah dulu, Yah, waktu aku mencuri kopi spesialmu.
September 2009, malam hari
Yah, aku takut sekali. Tapi sore gempa mengguncang kota. Semua bangunan roboh. Begitupun dengan rumah hasil rancanganku. Lihatlah, Yah! Mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang jalan. Darah mengalir menganak sungai. Dan isak tangis pilu mengores ulu hati. Yah, masihkah kau diam melihatku seperti ini? Aku sudah tidak kuat lagi, Yah. Sepertinya aku benar-benar mau mati. Kakiku sudah beku,Yah, aku tidak bisa lagi berjalan. Begitupun dengan mataku sudah buta. Percuma aku hidup. Kau tak pernah lagi bisa melihat senyummu yang meneduhkan itu.
“Siapa kau?”
Ketika aku merasakan ada seseorang yang menggenggam tanganku.
“Sssttt.. tenanglah, Det. Kau selamat dari gempa tadi sore. Jangan banyak bergerak dulu.”
Suara itu. Aku seperti mengenal suara itu.
“Ridho? Kaukah itu?”
Lalu orang itu tersenyum. Hah?? Aku melihatnya tersenyum?? Aku bisa melihatnya, Yah. Aku tidak buta.
Lalu siapa wanita tua di sampingnya itu? Wanita dengan baju putih-putih. Malaikat mautkah? Oh, benarkah itu malaikat maut? Dia mau mencabut nyawaku? Oh, tidak!
“Det, buka matamu, Kawan. Buka hatimu.”
Ini ibumu, Det. Dia pintu sorgamu…
Apa? Jadi wanita itu benar ibuku??
Tidak, Dho! Aku benci ibuku!
Tapi Ridho mengatakan aku bukan apa-apa tanpa Ibu, Yah. Kata Ridho aku diharamkan untuk masuk surga tanpa restu Ibu. Benarkah begitu, Yah?
Ibu, kaukah itu? Pandanganku kembali mengabur. Tiba tiba aku merasa haus tiada tara.
“Nak, ini Ibu...”
Oh, indahnya. Indah sekali, Yah. Baru kali ini aku mendengar kata-kata seindah itu.
Lalu Ridho membawa Ibu lebih dekat padaku. Langkah Ibu tertatih. Dia meraba-raba. Aku mencoba memperjelas pandanganku. Ridho, benarkah dia Ibuku? Aku bertanya.
“Ya, Det. Dia Ibu yang melahirkanmu, yang menyapihmu dan menyusuimu. Ibu yang mengikhlaskan nyawanya untukmu. Ibu yang merelakan matanya untukmu...”
Bagai kertas yang dihempas gelombang, aku remuk, Yah. Ternyata Ibu begitu menyayangiku. Sama seperti aku menyayangimu. Mungkin lebih.
Perlahan aku merasakan tangan-tangan mengusap kepalaku. Tapi yang ini begitu lembut, Yah. Ini tangan Ibu ya? tanyaku.
Ibu tak menjawab, Yah. Lalu aku merasakan ada air menetes di pipiku. Ah, seperti air hujan. Bukan, ini bukan air hujan. Ini air mata Ibu, Yah.
“Bu…Ibu menangis?”
Aku tak peduli, Yah. Aku ingin memeluk Ibu sekarang. Kata Ridho, soga itu di bawah telapak kaki Ibu.
Walantaka, Serang 27 Juli 2010

1 comment:

Alex Paradise said...

pertamax, nice...sangat menginspirasi, bagaimana restu ibu sangat menolong.

Yamaha Byson 2011

Yamaha Byson Sobat muda penunggang kuda besi tentu tidak asing dengan motor street fighter atau naked bike. Street fighter m...